(arrosyad.blogspot.com) Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa hukum qurban adalah sunnah atau sunnah muakkad (yang amat dianjurkan) bagi orang yang hidup dan mampu, itu pun boleh diniatkan untuk keluarganya. Hukum sunnah ini menjadi pendapat mayoritas ulama. Sebagian ulama mengatakan hukum qurban itu wajib.
Sedangkan qurban untuk mayit (secara khusus), tidaklah dituntunkan
selama bukan karena wasiat atau nadzar sebelum meninggal dunia. Serial
keempat kali ini akan mengkaji mengenai niatan qurban untuk mayit.
Para ulama berselisih pendapat mengenai kesahan qurban untuk mayit jika bukan karena wasiat. Dalam madzhab Syafi’i, qurbannya tidak sah kecuali jika ada wasiat dari mayit. Imam Nawawi rahimahullah berkata dalam Al Minhaj,
وَلَا تَضْحِيَةَ عَنْ الْغَيْرِ بِغَيْرِ إذْنِهِ، وَلَا عَنْ الْمَيِّتِ إذَا لَمْ يُوصِ بِهَا
“Tidak sah qurban untuk orang lain selain dengan izinnya. Tidak
sah pula qurban untuk mayit jika ia tidak memberi wasiat untuk qurban
tersebut.”
Kita dapat membagi berqurban untuk mayit menjadi tiga rincian sebagai berikut:
Pertama: Berqurban untuk mayit hanya sebagai ikutan.
Misalnya seseorang berqurban untuk dirinya dan keluarganya termasuk
yang masih hidup atau yang telah meninggal dunia. Dasar dari bolehnya
hal ini adalah karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berqurban untuk dirinya dan keluarganya, termasuk di dalamnya yang telah meninggal dunia.
Bahkan jika seseorang berqurban untuk dirinya, seluruh keluarganya
baik yang masih hidup maupun yang telah mati, bisa termasuk dalam niatan
qurbannya. Dalilnya,
كَانَ الرَّجُلُ فِي عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُضَحِّى بِالشَّاةِ عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ
“Pada masa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam ada seseorang
(suami) menyembelih seekor kambing sebagai qurban bagi dirinya dan
keluarganya.”[1]
Asy Syaukani mengatakan, “(Dari berbagai perselisihan ulama yang
ada), yang benar, qurban kambing boleh diniatkan untuk satu keluarga
walaupun dalam keluarga tersebut ada 100 jiwa atau lebih.”[2]
Kedua: Berqurban untuk mayit atas dasar wasiatnya (sebelum meninggal dunia). Hal ini dibolehkan berdasarkan firman Allah Ta’ala,
فَمَنْ بَدَّلَهُ بَعْدَمَا سَمِعَهُ فَإِنَّمَا إِثْمُهُ عَلَى الَّذِينَ يُبَدِّلُونَهُ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Maka barangsiapa yang mengubah wasiat itu, setelah ia
mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang
mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”(QS. Al Baqarah: 181).
Ketiga: Berqurban dengan niatan khusus untuk mayit,
bukan sebagai ikutan, maka seperti ini tidak ada sunnahnya (tidak ada
contoh dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidak pernah berqurban untuk salah satu orang yang telah meninggal
dunia dengan niatan khusus. Beliau tidak pernah berqurban atas nama
pamannya, Hamzah -radhiyallahu ‘anhu-, padahal ia termasuk
kerabat terdekat beliau. Tidak diketahui pula kalau beliau berqurban
atas nama anak-anak beliau yang telah meninggal dunia, yaitu tiga anak
perempuan beliau yang telah menikah dan dua anak laki-laki yang masih
kecil. Tidak diketahui pula beliau pernah berqurban atas nama istri
tercinta beliau, Khodijah -radhiyallahu ‘anha-. Begitu pula,
tidak diketahui dari para sahabat ada yang pernah berqurban atas nama
orang yang telah meninggal dunia di antara mereka.[3]
Syaikh Muhammad bin Rosyid bin ‘Abdillah Al Ghofiliy dalam buku kecil
beliau yang menjelaskan tentang kesalahan-kesalahan di sepuluh hari
pertama Dzulhijjah. Di antaranya beliau menerangkan mengenai kesalahan
yang dilakukan oleh orang yang berqurban. Beliau berkata,
7 – Di antara kekeliruan yang
dilakukan oleh orang yang berqurban adalah bersengaja menjadikan (niat)
qurban untuk mayit (orang yang telah tiada). Ini jelas keliru karena
asalnya qurban diperintahkan bagi orang yang hidup (artinya yang
memiliki qurban tadi adalah orang yang hidup, pen). Namun dalam masalah
pahala boleh saja berserikat dengan orang yang telah tiada (mayit). Yang
terakhir ini tidaklah masalah. Adapun menjadikan niat qurban tadi untuk
si mayit seluruhnya, ini jelas tidak ada dalil yang mendukungnya.
Dalam penjelasan di halaman selanjutnya beliau hafizhohullah menjelaskan,
Jika yang berdo’a dengan do’a, “Ya Allah jadikanlah pahala qurban ini seluruhnya untuk kedua orang tuaku yang telah tiada”, ini sama sekali tidak ada dalil yang mendukungnya, ini termasuk perkara (amalan) yang mengada-ada. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa mengada-ada dalam urusan (agama) kami yang tidak ada dasarnya, maka amalannya tertolak” (Muttafaqun ‘alaih)[4]
Sebagian ulama membolehkan niatan qurban untuk mayit secara khusus
karena dianggap seperti sedekah. Di antara yang membolehkan adalah
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, Al Lajnah Ad Daimah, dan fatwa Syaikh
Sholih Al Fauzan yang kami dengar secara langsung di majelis beliau.
Jadi masalah ini masih ada perselisihan, namun kami lebih tentram dengan
alasan-alasan yang melarang di atas. (A.D Ulinnuha Arwani)
Sumber : rumaysho.com
0 komentar:
Posting Komentar